Kulit Jengkol Pun Jadi Pewarna Batik Ciwaringin
Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan
TRIBUNNEWS.COM -- APA yang ada dalam pikiran Anda ketika ditanya batik Cirebon? Trusmi? Ya, sebagian besar orang hafal jika batik Cirebon berasal dari Trusmi, sebuah desa yang terlatak sekitar 9 kilometer arah barat pusat Kota Cirebon.
Sebenarnya bukan hanya Trusmi daerah penghasil batik di Cirebon. Di kecamatan paling barat, tepatnya di Ciwaringin juga terdapat sentra pembuatan Batik Cirebon. Namun gaungnya kurang menggema sehingga kalah pamor dari Trusmi.
Jika di Trusmi, motif mega mendung menjadi andalan, lain lagi dengan di Ciwaringin. Di wilayah itu, motif bunga dan pohon menjadi khas. Namun bagi yang menginginkan motif lain, perajin tetap bisa membuatnya. Seperti motif Jakartaan yang dipesan Pemprov DKI Jakarta misalnya, perajin bisa membuatkannya, bahkan dalam jumlah cukup banyak. Motif yang dimaksud antara lain ondel-ondel, monas, dan rumah betawi.
Selain motif, cara pembuatan batik di Ciwaringin juga berbeda. Batik dibuat dengan canting besar dan proses membatik langsung dilakukan di atas kain batik tanpa melalui sketsa terlebih dulu.
Selain itu, satu hal yang menonjol adalah penggunaan pewarna batik. Perajin di Ciwaringin lebih memilih menggunakan pewarna alami ketimbang pewarna kimiawi. Akibatnya warna kain batikmenjadi lebih lembut bahkan seperti bladus. Namun pewarna alami dianggap ramah terhadap lingkungan.
Perajin batik Ciwaringin, M Suja'i mengatakan, pewarna alami untuk kain batik dibuat sendiri perajin. Pewarna itu berasal dari beragam tumbuh-tumbuhan, seperti daun mangga, kulit jengkol, kulit mahoni, daun tong, tembakau, dan kulit pohon indigo. Bahan-bahan alami itu dibuat ekstraksi dan difermentasi untuk menghasilkan warna-warna alami kain batik.
"Ada dua cara membuat pewarna alami batik, pertama di-ekstraksi dan kedua difermentasi. Di-ekstraksi artinya bahan-bahan direbus dalam air mendidih sehingga airnya berubah warna, dan air itu yang digunakan untuk mewarnai batik," kata M Suja'i di rumah pembuatan batiknya, Jalan Jend Urip Sumoharjo No 39, Selasa (1/10).
Sementara fermentasi adalah proses pembuatan warna dari dedaunan dengan cara merendam dedaunan tersebut sampai layu selama 24 jam. "Air rendamannya akan berubah warna," kata pria kelahiran Cirebon, 9 September 1975 ini.
Penggunaan pewarna alami untuk kain batik, kata Suja'i sama seperti pewarna kimiawi. Namun karena alami, pewarna tersebut ramah lingkungan.
Menurut Suja'i, penggunaan pewarna alami datang dari kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Lebih-lebih belakangan ini seluruh dunia mengampanyekan go green. "Konsumen luar negeri malah lebih suka dengan batik pewarna alami," kata Suja'i.
Satu kain batik dengan pewarna alami dibanderol Rp 150.000-Rp 2 juta. Itu semua tergantung motif dan gradasi warna. Khusus untuk batik tulis, harganya Rp 500.000-Rp 2 juta.
Suja'i bercerita, produksi kain batik di Ciwaringin sudah ada sejak lama, berbarengan dengan kelahiran batik di Trusmi. Namun batik Ciwaringin mengalami pasang surut dalam perjalanannya.
"Dulu hampir semua rumah memiliki cap motif batik, namun sekarang bisa dihitung jari," kata Suja'i. Surutnya perajin batik di Ciwaringin, kata dia akibat adanya krisis moneter 1997. Seketika itu perajin berhenti berkarya.
Namun perajin sedikit terbantu setelah batik diakui UNESCO pada 2 Oktober 2009 dan setiap 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Para perajin mulai bergairah untuk kembali berkarya. Dan perajin di Ciwaringin memilih menggunakan pewarna alami untuk kain batik buatannya.
Diakui Suja'i, pembuatan kain batik di Ciwaringin adalah turun temurun, sama halnya dengan di Trusmi. Ia juga merupakan generasi keempat yang meneruskan pembuatan batik di Ciwaringin.
"Tadinya kakek buyut saya yang memulai, kemudian turun ke kakek-nenek, lalu ke ayah-ibu saya, dan sekarang saya yang meneruskan," ujar suami dari Muasshomah ini.
Di tangannya, kain batik dibuat semenarik mungkin tanpa meninggalkan nilai budaya yang dikandungnya. Alhasil, bukan saja warga Cirebon yang suka, warga dari Bandung dan Jakarta pun banyak yang melirik. Bahkan dari Jerman dan Jepang berkali-kali datang ke galeri miliknya untuk memborong kain batik.
Suja'i berharap kain batik semakin diterima hati masyarakat dunia. Dengan begitu, kain warisan budaya Indonesia itu tak hanya dikenakan untuk acara tertentu melainkan di setiap kesempatan. (*)
Komentar
Posting Komentar